Rabu, 30 November 2011

Semoga Kita Terdorong Melaksanakan Puasa ‘Asyura

 Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Artikel www.muslim.or.id

Sungguh puasa memiliki keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Tidakkah engkau mengetahui bahwa puasa adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya?!
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى »
“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)

Bagi orang yang berpuasa juga akan disediakan pintu surga yang khusus untuk mereka. Inilah kenikmatan di akhirat yang dikhususkan bagi orang yang berpuasa.
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152)
Juga dalam ayat yang mulia ini dijelaskan mengenai balasan bagi orang yang berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

“(Kepada mereka dikatakan): ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’”
(QS. Al Haqqah [69]: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, “Ayat ini turun pada orang yang berpuasa: Barangsiapa yang meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan yang makanan dan minuman yang lebih baik.” (Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Penjelasan-penjelasan tadi adalah motivasi agar kita gemar melakukan puasa.
Karena kita sekarang berada di bulan Muharram, ada suatu amalan yang sangat mulia ketika itu yaitu puasa hari ‘Asyura. Hari ‘Asyura -menurut mayoritas ulama- adalah tanggal 10 Muharram dan bukan tanggal 9 Muharram sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Yang lebih tepat adalah pendapat mayoritas ulama sesuai dengan yang nampak jelas pada hadits (baca: zhohir hadits) dan sesuai dengan tuntunan lafazh. Ulama yang menyatakan hari Asyura adalah tanggal 10 Muharram yaitu Sa’id bin Al Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq dan Khola’iq. (Lihat Syarh Muslim, 4/114)
Lalu apa saja keutamaan puasa tersebut? Semoga dengan mengetahui keutamaannya kita terdorong untuk melaksanakan puasa yang satu ini. Namun, sebelumnya kita lihat terlebih dahulu mengenai keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan puasa ‘Asyura. Ya Allah, mudahkanlah urusan ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melakukan Puasa ‘Asyura di Makkah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa tersebut dan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Melakukan Puasa ‘Asyura di Madinah
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa. (HR. Muslim no. 1130)
Apakah ini berarti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniru-niru Yahudi? Tidak sama sekali.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan puasa ‘Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan puasa ini, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ikut melakukannya. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka, orang Yahudi. Wallahu a’lam.” (Syarh Muslim, 4/119)
Ketika Diwajibkannya Puasa Ramadhan
Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dan Ibnu ‘Umar berikut ini. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.” (HR. Muslim no. 1126)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bertekad Menambah Puasa pada Hari Kesembilan Muharram
Di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
« فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ »
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Jadi ringkasnya, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Rojab bahwa puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat keadaan:
Pertama: beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di Makkah, namun beliau tidak memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlu Kitab berpuasa dan mengagungkan hari tersebut. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sama dengan mereka dalam perkara yang tidak diperintahkan baginya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan puasa pada hari Asyura tersebut.
Ketiga: ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa siapa yang ingin berpuasa, silakan dan siapa yang tidak ingin berpuasa, silakan.
Keempat: Di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi ahlu kitab. (Lihat Latho’if Ma’arif, hal. 53)
Saatnya kita melihat keutamaan khusus dari puasa ‘Asyura.

Puasa di Bulan Muharram, Seutama-utamanya Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa sunnah muthlaq. (Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Namun yang kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan bulan Muharram. Bagaimana menjawab hal ini?
An Nawawi menjawab keraguan semacam ini dengan dua jawaban:
Pertama: mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui keutamaan berpuasa pada bulan Muharram di akhir hayat hidupnya.
Kedua: mungkin juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat udzur sehingga tidak bisa melakukan banyak puasa di bulan Muharram. Mungkin beliau banyak melakukan safar, sakit atau ada keperluan lainnya ketika itu. (Lihat Syarh Shohih Muslim, 4/185)
Bahkan dikatakan oleh Ibnu Rojab bahwa di antara salaf yang melakukan puasa di bulan Muharram sebulan penuh adalah Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri. (Lihat Latho’if Ma’arif, hal. 36)
Puasa ‘Asyura’ Menghapus Dosa Setahun yang Lalu
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ‘Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram karena berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.
Abu Qotadah Al Anshoriy berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai (keutamaan) puasa hari ‘Asyura. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ »
“Puasa ‘Asyura’ akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Apa Hukum Puasa ‘Asyura?
An Nawawi menjelaskan, “Para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari ‘Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum puasa ‘Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib. Namun dulu, puasa Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa Ramadhan disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama kalinya. Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu Hanifah.” (Syarh Shohih Muslim, 4/114)
Yang jelas, hukum puasa ‘Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah wajib. Namun, hendaklah kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang sangat utama ini, apalagi melihat ganjaran yang begitu melimpah. Juga ada ganjaran lain yang dapat kita lihat yang ditujukan bagi orang yang gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Lebih Baik Lagi Ditambah Berpuasa Pada Tanggal 9 Muharram
Sebagaimana dijelaskan di awal (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah keburu meninggal sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat melakukan puasa pada hari itu.
Lalu bagaimana hukum melakukan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.
Imam Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyyah), Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan adalah agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 4/121)
Ibnu Rojab mengatakan, “Di antara ullama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Abu Hanifah memakruhkan berpuasa pada hari sepuluh saja (tanpa hari kesembilan).” (Latho’if Ma’arif, hal. 53)
Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja adalah tingkatan di bawah tingkatan pertama tadi. Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah dalam kitab beliau Tajridul Ittiba’.
Apakah Perlu Ditambah Berpuasa pada Tanggal 11 Muharram?
Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasalah pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram, pen) dan selisilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ‘Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dho’if (lemah). Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil.
Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Rozaq, Ath Thohawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ‘Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Selisilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” (Sanad hadits ini adalah shohih, namun diriwayatkan hanya sampai sahabat). (Dinukil dari catatan kaki pada Zaadul Ma’ad, 2/60, Darul Fikr yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qodir Arfan).
Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan. Dalam rangka kehati-hatian dalam penentuan awal Muharram, kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.
Dalam riwayat Al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada perselisihan dalam penentuan hilal, saya berpuasa selama tiga hari (9, 10 dan 11 Muharram) dalam rangka hati-hati.” (Lathoif Ma’arif, hal. 53)
Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa pada bulan Muharram. Insya Allah pada tahun ini, puasa ‘Asyura’ jatuh (menurut perkiraan) pada hari Rabu, 7 Januari 2009. Dan lebih baik lagi jika kita dapat berpuasa pada hari sebelumnya untuk menyelisihi Yahudi. Atau mungkin jika khawatir karena ada perselisihan dalam penentuan hilal, kita tambahkan dengan berpuasa pada tanggal 11 Muharram.
Mari kita ajak saudara-saudara kita untuk melakukan puasa ‘Asyura.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Referensi:
  1. Al Bida’ Al Hawliyah (Silsilah Ar Rosa’il Al Jami’iyyah), Abdullah bin Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, Darul Fadhilah
  2. Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com
  3. Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab Al Hambali, Asy Syamilah, cetakan pertama, 1421 H
  4. Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
  5. Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily
  6. Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, Tahqiq: Syaikh Abdul Qodir Arfan, Darul Fikr
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 30 Dzulhijjah 1429 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar